Sarekat Islam
Sarekat Islam merupakan sebuah organisasi politik tertua di
Indonesia yang awalnya bernama Sarekat Dagang
Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudin di Surakarta tahun 1905.
Dengan tujuan awal pada saat itu yaitu melawan dominasi pedagang Tionghoa yang merajalela di perdagangan Indonesian dengan cara membentuk
perkumpulan pedagang muslim. Selanjutnya HOS Tjokroaminoto terpilih menjadi
pemimpin dan karena keadaan
politik dan sosial yang ada di Indonesia
akhirnya dapat mendukung SI menjadi organisasi di bidang politik maka SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam pada tahun 1912. Perubahana ini dimaksudkan bahwa agar organisasi ini
tidak hanya bergerak dalam sector perekonomian saja, tapi juga dalam bidang lain seperti politik, sebagai dasarnya tujuan- tujuan SI adalah sebagai berikut, mengembangkan
jiwa dagang, membantu
anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha, memajukan
pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat, memperbaiki
pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam dan hidup menurut perintah agama.
SI tidak membatasi keanggotaannya
hanya untuk kalangan masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan
SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara
muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk
semua lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan
Hukum, awalnya Gubernur Jendral Indenburg menolak. Namun pada akhirnya Badan Hukum yang bekerja
hanya
diberikan pada SI lokal saja. Walaupun
dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam
kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan
menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial. Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan
sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai politik, SI berubah
menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Kongres-kongres
awal
Kongres pertama diadakan pada bulan
Januari 1913. Dalam kongres ini Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bukan
merupakan organisasi politik, dan bertujuan untuk meningkatkan perdagangan
antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang mengalami kesulitan ekonomi
serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat Indonesia. Kongres
kedua diadakan pada bulan Oktober
1917. Kongres
ketiga diadakan pada tanggal 29 September
hingga 6
Oktober 1918 di Surabaya. Dalam kongres ini Tjokroaminoto menyatakan jika Belanda tidak melakukan
reformasi sosial berskala besar, SI akan melakukannya sendiri di luar parlemen.
Masuknya
pengaruh komunisme di Badan
Sarekat Islam
SI yang mengalami perkembangan
pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini
disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah
mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak
berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan berasal dari Eropa oleh orang
Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik
infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil
menyusup ke dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela
rakyat kecil dan menentang kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.
Dengan usaha yang baik, mereka
berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen,
Darsono, Tan Malaka,
dan Alimin
Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI
Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang
dipimpin Semaoen. SI merah berlandaskan asas yang telah terkontaminasi oleh paham sosialisme-komunisme. SI Putih (H. Agus Salim,
Abdul Muis,
Suryopranoto,
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo)
berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta.
Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang.
Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu
tersebut.
Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV
ke dalam tubuh SI antar lain:
- Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen adalah ketua SI Semarang.
- Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.
- Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV.
- Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang melanda pada tahun 1917 di Semarang.
Jurang antara SI Merah dan SI Putih
semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern
(Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada
saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah
mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme
tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena keduanya
memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI Semarang yang
mendukung PKI.
Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam beleid (kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang pencampuran
agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih condong ke SI
haluan kanan (SI Putih).
Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen
dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini ada kaitannya dengan desakan
Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang keenam 6-10 Oktober 1921 tentang
perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Anggota SI harus memilih
antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari unsur-unsur
komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka
meminta pengecualian bagi PKI. Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin
partai diterima dengan mayoritas suara. Saat itu anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah
dan Persis
pun turut pula dikeluarkan, karena disiplin partai tidak memperbolehkannya.
Keputusan mengenai disiplin partai
diperkuat lagi dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 di Madiun. Dalam
kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan pendidikan kader SI dalam
memperkuat organisasi dan pengubahan nama CSI menjadi Partai Sarekat Islam
(PSI). Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI memutuskan untuk menggerakkan SI
Merah untuk menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI Merah berganti nama menjadi
"Sarekat Rakyat".
Partai
Sarekat Islam Indonesia
Pada kongres PSI tahun 1929 menyatakan bahwa tujuan
perjuangan adalah mencapai kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas
itulah PSI ditambah namanya dengan Indonesia sehingga menjadi Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga PSII menggabungkan diri dengan
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Akibat keragaman cara pandang di antara anggota
partai, PSII pecah menjadi beberapa partai politik, di antaranya Partai Islam Indonesia
dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII sendiri. Perpecahan itu
melemahkan PSII dalam perjuangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar